Percakapan di facebook itu cukup menggelikan pikiranku.
Sesekali pekikan tawa keluar dari mulut membuat kerumunan teman-teman yang
sedang larut berdiskusi, bertanya-tanya ada apa gerangan. Tak seperti biasanya,
kalau tertawa pasti karena ada guyonan atau cerita-cerita konyol yang selalu
aku utarakan. Sesekali teman-teman bertanya, namun kuabaikan begitu saja seolah
tidak mendengarkan apa-apa, karena ada sesuatu dan lain hal.
Memang sudah lama aku mengenalnya sekitar satu tahun yang
lalu. Seorang perempuan dewasa yang sudah tujuh belas tahun usia pernikahannya.
Tidak menyangka akan sedekat ini, padahal tidak pernah tahu seperti apa
orangnya, apalagi alamat rumahnya dimana. Namun, menurut info di profil
facebooknya, perempuan itu adalah seorang kepala sekolah disalah satu sekolah
di kota Tangerang. Yah, dia berasal dari Tangerang dan aku dari Mataram, sedang
jarak tempuh antara kedua daerah ini meski melewati banyak kabupaten dan beberapa
provinsi bahkan menyeberangi dua selat. Facebook membuat jarak menjadi begitu
dekat diujung jari, hanya butuh dipencet saja.
Entah, aku lupa apa yang membuat saling kenal dengannya.
Awalnya memang dia selalu komentar setiap kali menuliskan status walaupun sudah
larut malam. Pernah sampai saling kirimkan pesan lewat facebook. bercerita
kalau merasa senang berkenalan denganku. Pemuda yang saat itu selalu menulis
statusnya, tentang hujan yang turun tiap malamnya, mengundang kerinduan pada
sang kekasih hati. Terbayang katanya, bagaimananya aku seorang pemuda sedang
masa-masa indahnya, sedang dilanda asmara yang tergambar lewat status-status
yang kutulis dulu. Barangkali itu yang membuat bisa kenal, begitu dekat padahal
aku tidak pernah kenal sebelumnya.
Percakapan malam itu cukup dewasa pilihan temanya. Seputar
bagaimana suasana berumah tangga yang sangat berat ujiannya. Sampai janji akan
datang kalau aku nikah kelak. Meski perkiraannya tahun depan, karena kebetulan ada
rencananya akan berkunjung ke Lombok tahun depan. Berdua dengan suaminya. Bukan
perjalanan dinas atau kepentingan bisnis, namun berdua mau bulan madu.
“Berdua saja? nggak bawa ana-anak?”
tanyaku penasaran.
“Second
honeymoon, yah berdua dong. Masa bawa
anak-anak. Anak-anak waktunya lain” jawabnya mantab.
“Ahaiyyyy. Romantis juga yah”. Ledekku.
“Mencoba mempertahan apa yang ada Kez.
17 tahun perkawinan. Sulit. Banyak godaan. Terutama dari pihakku. Lagi mencoba
untuk selalu berdua” tanggapnya mulai agak serius.
17 tahun. Bukanlah umur yang pendek
pikirku. Mencoba meraba-raba betapa rasanya menjalankan pernikahan sampai
bertahan sejauh itu. Karena tetangga di rumah saja baru beberapa bulan tengah
berkeluarga, sekarang sudah cerai. Berkeluarga. Sepertinya bukan urusan yang
sepele sesuai bayanganku. Perjuangan yang sarat pengorbanan apapun untuk bisa
bertahan.
“Betul. Sayang kalo hancur. Boleh kasih
saran. Jangan pernah hancurkan kepercayaan perempuan kez. Karena akan sulit untuk
berjalan mulus lagi” lanjutnya lagi.
“Sepertinya sejalan dengan pikiran
saya. Banyak belajar dari bunda dirumah” tanggapku sok tahu.
Rupanya dia juga banyak belajar dari Mamanya.
Yang kesabarannya luar biasa. Disakiti sebegitu rupa, namun tetap bertahan.
Sembari mengingatkan tentang bagian cerita dari novelnya yang pernah ia tulis.
Itu adalah kisahnya dan Mamanya yang setia dan sangat tabah bertahan hingga meninggalnya.
Itulah kenapa dirinya tidak pernah lepas dari pose tersenyum disaat berphoto. Karena
itu adalah usahanya untuk selalu tersenyum. Mungkin semacam rumus ketabahan
menghadapi segala cobaan yang mendera. Akupun sebenarnya cukup terkejut
mendengarnya. mendapati seorang perempuan yang tidak pernah istirahat dan terus
melaju dalam kehidupan, hingga dijuluki wonder
women oleh teman-temannya.
Terkadang aku terlalu sok tahu terhadap orang. Padahal baru
masih "berondong" yang
masih sangat dini memperbincangkan tema tentang nikah. Jalan masih panjang dan
perlu belajar banyak. Aku hanya ingat alasan istri Cak Anas yang begitu indah
mengatakan nikah itu ibadah. Tidak mau ibadahnya terganggu hanya gara-gara
mempermasalahkan hal-hal yang tidak wajar. Itu aja yang aku yakini sampai
sekarang. Berkoar-koar ditengah-tengah teman-teman seoalah menikah itu mudah.
Percakapan itu betul-betul menjadi teguran bagiku.